Kegiatan filologi ini berasal dari Eropa pada zaman Humanisme dan Renaissance. Dengan semangat zaman mereka, saat itu muncullah rasa perlu untuk melakukan pengkajian terhadap warisan kebudayaan yang mereka miliki–sastra klasik Yunani dan Romawi. Nah, melalui pengkajian filologi ini, manusia-manusia di zaman itu berharap dapat memahami maksud dan makna naskah-naskah kuno yang bahasanya tidak lagi familiar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Belajar dari pengalaman manusia-manusia lampau, sangat bijaksana kan?
Sejalan dengan penelitian filologi, berkembang pulalah yang namanya kritik teks. Kalau penelitian filologi bertujuan mengetahui makna naskah untuk “membuka” pengetahuan dalam naskah pada khalayak luas yang berkepentingan terhadap ilmu dalam naskah itu, kritik teks bertujuan menemukan naskah yang paling baik, paling bagus, dan paling bersih dari kesalahan. Kegiatan kritik teks ini muncul akibat fakta di lapangan yang menemukan begitu banyak naskah yang sudah rusak, dan begitu banyak juga naskah yang bervarian (maksudnya sama), tapi ternyata isinya memiliki sedikit perbedaan, atau bahkan banyak sama sekali. Perbedaan-perbedaan ini bisa muncul akibat kegiatan penyalinan yang dilakukan dalam masyarakat saat itu. Untuk naskah-naskah sakral, atau naskah-naskah keagamaan, biasanya penyalinan dilakukan di dalam istana, sangat ketat, dan diawasi oleh pemerintah. Nah, oleh karena itu, naskah-naskah keagamaan biasanya ga memiliki banyak varian. Kalaupun ada yang berbeda dalam satu naskah dengan naskah lain, hampir bisa dipastikan bukan perbedaan yang signifikan–akibat pengawasan itu tadi. Berbeda dengan naskah keagamaan, naskah-naskah yang isinya kesusastraan dan beredar di masyarakat, biasanya memiliki varian yang banyak. Semakin populer naskah itu, semakin sering naskah itu disalin, semakin banyak variannya, semakin banyak juga naskahnya. Nah, kegiatan filologi di Indonesia dimulai oleh sarjana-sarjana Eropa, terutama Belanda. Di antara para peneliti itu kita kenal misalnya nama-nama Gericke dan Cohen Stuart untuk bahasa Jawa, Van der Tuuk untuk bahasa Batak dan Bal, Kern dan Juynboll untuk bahasa Jawa-Kuno, dan Klinkert, Van Ronkel, Van Dewal, dan Van Hoevell untuk bahasa Melayu.
Selain filologi, kodikologi adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerja bareng dengan bidang ilmu ini. Kalau filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks/kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan, gambar/ilustrasi, hiasan/illuminasi, dan lain-lain. Nah, tugas kodikologi selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat2 naskah sebenarnya, menyusun katalog, nyusun daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu (Dain dalam Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994: 2–3).
Filologi berasal dari bahasa Yunani philein, "cinta" dan logos, "kata". Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, biasanya dari zaman kuno.
Sebuah teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.
Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah menelititi naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini dan menyunting teks yang ada di dalamnya.
Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.
Salah seorang filolog Indonesia ternama adalah Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka.
0 komentar:
Posting Komentar